Sabtu, 15 September 2012

Jika Rohis Tak Lagi Ada...


Kalau aku melakukan pembelaan terhadap Rohis jangan claim aku anak Rohis, anak pengajian, atau aktivis militan. Kalau pun ada yang mengklaim demikian juga gak masalah sebenarnya, tapi itu bisa menimbulkan 'kecatatan' dalam biografi hidup aku nanti, secara aku memang tak pernah bergabung dengan barisan Rohis. 

Aku cuma pernah ikut liqo' jama'ah oh jama'ah dua kali. HTI entah dua entah tiga kali. Bersama jama'ah tabligh 3 hari. Cuma itu aja kok track record aku, haha... Yah, setidaknya aku banyak dekat dengan mereka itu daripada dekat sama kaum 'Sepilis' bisa ngaco pikiranku.

Menurutku, kalau kegiatan seperti Rohis dan Lembaga Dakwah Kampus sampai dilarang oleh pemerintah, atau dilarang oleh sekolah tertentu, atau boleh jadi juga dilarang oleh orang tua siswa tertentu yang mengalami Rohisphobia karena pemberitaan fitnah oleh media massa yang tak bertanggung jawab, maka akibatnya akan sangat fatal.

Pertama, anak-anak muda yang semangat belajar agamanya tengah menggebu tetap akan mencari tempat belajar agama di luar sekolah. Kita khawatirkan para anak muda itu akan jatuh ke tangan mereka yang benar-benar teroris atau ke ajaran-ajaran sesat yang selama ini berkembang seperti jamur di musim hujan. Apa di kira sama Metro TV songong itu dengan dilarang kegiatan seperti Rohis akan memutus mata rantai teror?! Ngak, malah akan jadi boomerang. Karena keberadaan Rohis selama ini malah sebagai filter terhadap pemikiran ekstrim, sesat maupun liberal.

Kedua, dengan adanya Rohis selama ini mampu memberi warna ketaatan di sekolah sekolah. Anak-anak Rohis yang kami kenal adalah remaja-remaja yang komitmen tidak merokok, tidak pernah tawuran, tidak pacaran, taat kepada guru, berprestasi, rajin shalat dhuha di mushalla, berbusana santun. Ok, saya tantang orang yang menuduh anak Rohis sebagai calon teroris, berapa anak Rohis yang selama ini sudah tertangkap sebagai 'teroris'? Mereka sama sekali bukan teroris, mereka hanya "teLoris!" Anak-anak muda yang keseringan makan nasi pakek 'teLor' karena menghemat uang saku untuk sedekah dan amalan sunnah. Semoga kita semua mendapat petunjukNya. Jika Rohis dilarang, maka tingkat kenakalan siswa (boleh jadi) akan meningkat. Wallahu’alam...

readmore »»  

Rabu, 29 Agustus 2012


Ramadhan, Pilkada dan Nafsu!
“Tak perlu terlalu memikirkan boleh atau tidaknya calon independen dalam Pilkada. Itu bukan urusan kita! Ada atau tidaknya independen tidak ada untungnya bagi kita (rakyat kecil). Ramadhan sang tamu agung ada di depan mata, itu yang harus kita pikirkan. Bagaimana dan sejauh mana sudah persiapan kita untuk menyambutnya dengan sesempurna mungkin?” Kalimat-kalimat tersebut diucapkan dengan suara lantang siang itu oleh khatib Jum’at (08/07), di mesjid Jami’ Abu Indrapuri.
Ya! Tak terasa sebentar lagi, jika Allah memberi nikmat umur panjang pada kita, kita akan bertemu kembali dengan Ramadhan. Kita akan kembali berperang dahsyat dengan hawa nafsu. Sepulang dari perang Badar, Nabi Muhammad ditanya oleh seorang Sahabat: “Adakah perang yang lebih besar daripada perang Badar ini ya Rasul?” Nabi saw. menjawab: “Ada. Perang melawan hawa nafsu.” Ibarat pasukan yang akan menghadapi pertempuran sengit, maka jauh hari sebelum jadwal pertempuran, pasukan harus menyiapkan kematangan fisik, mental serta perlengkapan tempur dengan sesempurna mungkin. Demikian juga halnya dengan Ramadhan yang mana di bulan tersebut kita akan bertempur melawan hawa nafsu yang ada dalam diri kita sendiri.
Dalam hal politik, berpolitik merupakan bagian dari agama. Namun dunia politik rentan membuat manusia tergelincir ke lingkaran hitam kecurangan, fitnah memfitnah, ataupun melupakan kewajiban-kewajiban yang sepatutnya lebih didahulukan. Ramadhan merupakan momentum yang tepat untuk mengintrospeksi segala carut-marut di segala lini kehidupan selama ini.
Selama ini, meski berat di hati, namun kita mesti mengakui bahwa suasana di Aceh semakin tercarut marut dengan arus perpolitikan menuju Pilkada yang akan berlangsung di bulan November, empat bulan lagi. Pejabat yang akan terlibat di ajang Pilkada sering meninggalkan kewajiban masuk kantor, guna menghadiri rapat-rapat persiapan pemenangan tokoh yang mereka dukung. Mahasiswa-mahasiswa mencari fee sampingan dengan bergabung bersama Timses-Timses para calon pejabat, walaupun sebagian mereka hanya dijadikan sebagai “pion” pemasang stiker, baliho, spanduk, selebaran di jalanan, atau mengumpulkan KTP dari masyarakat. Tak jarang juga, beberapa organisasi mahasiswa menjadi ‘budak’ yang disetir oleh Parpol tertentu untuk melakukan demo guna kepentingan tertentu. Sebagian mahasiswa tak lagi membaca buku. Tugas akademik mahasiswa kebanyakan hanya hasil dicopy-paste dari senior ataupun dari “profesor google”. Ada pula tengku-tengku yang ‘cuti’ dari mengisi pengajian. Tanya kenapa? Karena banyak yang ingin menjadi bagian dari pergolakan dan “perjudian” politik saat ini.
Masyarakat kecil pun tak terlepas dari perbincangan serius masalah politik. Ucapan khatib yang saya kutip di atas, menurut khatib bukan keluar begitu saja dari mulutnya. Namun fenomena tersebut telah lama beliau pikirkan setiap menyaksikan tingkah masyarakat Aceh baik yang di kota maupun di kampung. Mereka selalu saja asik membahas perihal politik antara adanya calon independen maupun tidak, atau siapa Balon Cagub-Cawagub, atau Cabup-Cawabup dari daerah mereka. Bahkan pembahasan bulan puasa yang sudah di depan mata dan harga daging meugang yang tak menutup kemungkinan tahun ini akan naik harga, kalah dengan pembahasan politik di kantor-kantor maupun warung kopi. Lalu bagaimana dengan persiapan menyambut Ramadhan, sudah sejauh mana persiapan masyarakat Aceh menjelang ramadhan; tradisi meugang, bersih rumah, dan lain-lain?
Ramadhan Kali Ini Lebih Istimewa
Ramadhan itu sendiri merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Namun dalam konteks Aceh tahun ini, Ramadhan akan terasa lebih istimewa. Kenapa saya katakan demikian? Dari segi kondisi politik, rasanya dalam sejarah “Aceh modern”, tak pernah terjadi ‘keributan politik’ antara ‘sesama orang Aceh’ sepanas yang kita rasakan saat ini. Dalam kondisi demikian, Allah mempertemukan kita dengan Ramadhan. Jadwal Ramadhan berada di depan jadwal pelaksaan kampaye Pilkada dan Pilkada itu sendiri. Ini merupakan momentum tepat untuk introspeksi semua pihak yang ‘bertikai’ dan yang bersaing nanti.
Kita berharap, semoga dengan kedatangan Ramadhan, sang tamu agung ini bisa membawa udara segar bagi suasana kehidupan rakyat di Aceh. Semoga Ramadhan merupakan jeda waktu yang dihadiahkan Allah kepada para ‘petarung’ agar nantinya bertarung secara sportif, tak mengotori Pilkada dengan politik uang, aksi anarkis, dan segala bentuk kecurangan lainnya. Semoga dengan do’a-do’a tulus dari tengku-tengku, janda dan anak-anak yatim di kampung-kampung, setelah idul fitri nanti jiwa-jiwa pemimpin kita kembali fitrah agar bisa berpikir dengan tenang sehingga buah pikiran mereka turut jernih.  Demikian juga agar selama Ramadhan rakyat bisa berpikir jernih untuk memilih tokoh-tokoh yang akan memimpin mereka dengan penuh amanah selama lima tahun ke depan, agar jangan pula karena nafsu fanatik sebahagian orang terhadap tokoh tertentu menjadikan mereka berbuat anarki terhadap kelompok lain, karena nafsu sangat rentan mempengaruhi emosi mereka dalam suasana Pilkada ke depan. Kedepankan rasa persaudaraan sebagai sesama muslim, sesama mukmin, sesama orang Aceh, sehingga kontak fisik tak perlu terjadi. Karena kita sama-sama ingin membangun damai dan kejayaan di Aceh. Semoga Allah mengabulkan do’a-do’a rakyat Aceh di bulan Ramadhan dengan menghadiahkan kepada kita pemimpin yang bisa mencintai rakyat, dan rakyat bisa menerima serta mencintai kepemimpinannya.
Sebagai bahan renungan bagi para pemimpin kami dan juga bagi mereka yang akan bersaing di Pilkada, seberapa sudah usaha anda dalam melayani masyarakat agar mereka tak kalang kabut menghadapi hari meugang yang kurang dari dua minggu lagi, agar mereka tenang dalam mempersiapkan ibadah, agar tidak ada sebahagian fakir miskin, janda maupun yatim korban konflik yang hanya bisa mencium bau daging meugang dari rumah tetangga?! Sejauh mana sudah usaha anda dalam mengatur harga sembako dan menekan harga daging yang semakin hari kenaikan harganya semakin menggila?
Akhir kata, Ibnu Rajab meriwayatkan bagaimana kondisi para sahabat Rasulullah saw. terkait Ramadhan: “mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai Ramadhan. Kemudian mereka pun berdo’a selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima olehNya.” Semoga kita tidak menyia-nyiakan kesempatan nikmat di bulan mulian. Allahumma balliqhna ramadhan. Ya Allah, izinkanlah kami berjumpa dengan bulan Ramadhan...
*Pernah dimuat di Harian Aceh
*Mahasiswa PascaSarjana IAIN Ar-Raniry, Konsentrasi Fiqih Modern. Anggota FLP Aceh.
readmore »»  


JANGAN ARABISASI ISLAM!


Musim Budaya Arab
Bagi saya, bulan Ramadhan identik dengan musim budaya Arab. Saya berkesimpulan seperti itu karena menemukan kejanggalan ketika beberapa kali menyaksikan acara realiti show religius selama Ramadhan di beberapa siaran televisi nasional. Kejanggalan tersebut berupa dipakainya musik Arab sebagai musik latar acara.  Sekilas bagi orang yang tak paham makna lirik lagu tersebut, terkesan itu adalah lagu-lagu religi. Bagaimana tidak, bagi masyarakat kita semua yang berbau Arab baik dari segi pakaian, musik, maupun bahasa seakan sudah dianggap bagian dari agama Islam. Padahal lagu dan musik yang menjadi latar acara-acara religi tadi tak jauh beda dengan lagu pop dan lagu dangdut negara kita. Bisa dibayangkan bagaimana gelinya orang yang paham lirik lagu tersebut ketika mendengar seorang ustaz berceramah diiringi lagu dangdut berlirikkan cinta-cinta gombal sebagai lagu latar ceramah. Saya juga pernah mendapati hal ini di siaran radio lokal (Aceh). Saya menemukan hal ini tak hanya tahun ini, namun juga tahun lalu.

Itu tadi dari segi bahasa. Lain lagi halnya dari segi pakaian. Semakin hari semakin aneh saja jika kita amati tren berbusana para artis dan presenter televisi selama bulan Ramadhan. Mereka mencoba ‘mengislamikan’ penampilan, namun bagi saya itu malah kelihatan aneh. Bagaimana tidak menjadi aneh jika seorang presenter acara gosip memakai busana bercorak ketimuran dan itu khusus terjadi pada bulan Ramadhan dan hari-hari besar Islam. Saya katakan bercorak ketimuran karena memang mereka tidak menutupi aurat sebagaimana mestinya. Ada yang menaruh selembar selendang di atas kepala namun sebahagian besar rambut terurai indah ke belakang punggung. Ada yang jilbabnya sempurna, namun dipadukan dengan baju berlengan pendek. Ada yang jilbab dan bajunya lebar namun memakai celana pancung.

Ketika satu bagian ditutupi dan bagian lain dibuka-buka, lalu dimana letak nilai ‘sakral’ dari jilbab tersebut jika bagian aurat yang lain diremehkan? Bukankah jika demikian tingkah dalam berbusana, nilai jilbab hanya tinggal sebatas budaya Arab belaka? Karena salah satu misi Islam adalah merubah budaya Arab dalam hal berbusana agar ‘kaffah.’ Seluruh ahli fiqh telah bersepakat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Parahnya, tren busana artis ibukota tersebut marak diikuti oleh kaum perempuan di daerah berstatus syari’at Islam, dengan bermacam model dalam bergaya.

Universalitas Ajaran Islam
Bahasa Arab mempunyai keistimewaan dalam agama Islam. Oleh karena itu, umat Islam sangat dianjurkan mempelajari bahasa Arab sebagai langkah utama mendalami ilmu agama. Hal ini dikarenakan dua sumber pokok ajaran Islam sepenuhnya menggunakan bahasa Arab. Allah Swt berfirman:“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS 43:3). Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Pelajarilah bahasa Arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.” Begitu tingginya kedudukan bahasa Arab dalam Islam, sehingga Ibnu Taimiyah berpendapat; “Bahasa Arab itu termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib. Tidaklah seseorang bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa Arab, dan tidaklah kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempelajari bahasa Arab), maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa Arab, di antaranya ada yang fardhu ‘ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” Hasan Al-Bashari, beliau pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang suatu kaum yang belajar bahasa Arab?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang baik, karena mereka mempelajari agama nabi mereka.”

Bahasa Arab juga berperan penting dalam membangun komunikasi antarsesama kaum muslimin di seluruh dunia. Sebagai contoh kongkrit, kita akan memperoleh kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji maupun umrah jika memiliki sedikit saja kemampuan berbahasa Arab, apalagi jika kita tiba-tiba terpisah dari jama’ah kita yang lain. Namun, menempatkan keistimewaan bahasa Arab yang tidak pada tempatnya malah akan mendatangkan musibah. Tentunya kita masih ingat dengan peristiwa pengrusakan sebuah sekolah di Blang Bintang hanya karena dianggap melecehkan al-Qur’an. Padahal tuduhan tersebut hingga saat ini tidak terbukti.

Al-Qur’an diturunkan di tengah bangsa Arab dan selama ini orang beranggapan bahwa al-Qur’an telah ‘menyesuaikan diri’ dengan adat Arab pada awal mula Islam. Dari pemahaman semacam itu nantinya berkembang anggapan bahwa ajaran Islam yang kita anut saat ini tak lepas dari pengaruh budaya Arab. Hal ini amat keliru, karena sebenarnya adat Arab-lah yang menyesuaikan diri dengan al-Qur’an. Jika al-Qur’an menyesuaikan diri dengan adat Arab, maka tentunya nilai-nilai keislaman yang sekarang ini dijalankan oleh kaum muslimin di seluruh kawasan dunia sangatlah dipengaruhi oleh adat Arab. Hal ini juga tentunya membuat kandungan al-Qur’an sedikit ‘cacat’ karena sebuah kitab suci harus menyesuaikan diri dengan adat bangsa tertentu. Al-Qur’an memuat nilai-nilai moral, ajaran, dan hukum yang bersifat universal untuk seluruh muslim di seluruh dunia, bukan hanya untuk masyarakat Arab semata.

Jubah dan Kain Sarung
Jika kita membahas masalah baju jubah, ada hadis yang menunjukkan bahwa Nabi lebih menyukai memakai gamis (sejenis jubah) daripada jenis pakaian lain yang dikenakan oleh orang Arab pada masa tersebut. Hal ini dikarenakan jubah lebih simpel dan lebih menutupi tubuh. Namun, Nabi saw. juga melarang umatnya untuk mengenakan pakaian yang menyebabkan “popularitas” atau terlalu mencolok dan terkesan asing bagi suatu kaum (Lihat HR. Ahmad no 5631, Abu Dawud 4029). Bahkan yang dianjurkan adalah kita mengenakan model pakaian yang biasa dipakai di tengah-tengah masyarakat kita. Oleh karena itu para shahabat, tatkala menaklukkan berbagai negeri mereka mengenakan pakaian sebagaimana pakaian masyakarat setempat.

Di Arab sana, non-muslim juga banyak yang memakai baju jubah. Sebagai contoh, sebut saja kristen koptik di Mesir. Jika kita ke Mesir, maka akan susah bagi kita untuk membedakan Muslim dan Kristen selain dari tanda pengenal orang Kristen berupa adanya tato palang salib di pergelangan tangan kanan mereka. Namun, biasanya muslim memakai jubah putih dan para pastur koptik memakai jubah hitam. Pernahkah terpikirkan, bagaimana jika Musailamah Al-Kazzab, Abu Jahal, dan para penentang dakwah Nabi juga menyukai jubah?

Di daerah kita, orang yang berjubah dianggap punya nilai plus dalam beragama. Sebaliknya, budaya kita memakai kain sarung yang terkesan‘meutengku,’ di Arab ‘derajat’ kain sarung malah bisa dikatakan kurang dihargai. Di Mesir, orang Indonesia dan Malaysia serta beberapa negara yang membudayakan kain sarung, kemungkinan besar akan ditertawakan oleh masyarakat pribumi. Karena bagi orang Mesir, kain sarung lazim dipakai untuk malam zifaf, malam pertama bagi pengantin, dan itu menjadi aib jika harus dipakai keluar rumah di hari-hari biasa.

Akhir kalam, tidak semua yang berbau Arab itu sakral.  Sebagai muslim yang baik, kita hendaknya bisa membedakan mana yang sakral dan mana yang profan, antara religi dan yang hanya sekedar bernilai budaya semata. Jika semua budaya Arab dipahami sebagai bagian dari Islam, maka akan menjadi musibah dalam beragama. Contohnya, musik Arab yang jadi latar acara religius tadi, kerancuan dalam berbusana dan pengrusakan sekolah atau pengajian lantaran dianggap melecehkan tulisan Arab yang terlanjur dianggap ‘sakral.’ Tentunya kita tidak ingin seperti seorang tidak waras yang ada di daerah tempat tinggal saya. Dia memungut setiap bungkus Indomie yang tercecer di jalanan kemudian menyangkutnya dipagar-pagar rumah dan sekolah lantaran tidak ingin terinjak-injak manusia karena ada tulisan “petunjuk penyajian” di belakang bungkus Indomie yang tertulis dalam bahasa Arab jawo. Wallahu’alam...

*Anggota FLP Aceh. Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry, Konsentrasi Fiqih Modern. 
readmore »»