Rabu, 29 Agustus 2012
JANGAN ARABISASI ISLAM!
Musim Budaya Arab
Bagi saya, bulan Ramadhan identik dengan musim
budaya Arab. Saya berkesimpulan seperti itu karena menemukan kejanggalan ketika
beberapa kali menyaksikan acara realiti show religius selama Ramadhan di
beberapa siaran televisi nasional. Kejanggalan tersebut berupa dipakainya musik
Arab sebagai musik latar acara. Sekilas
bagi orang yang tak paham makna lirik lagu tersebut, terkesan itu adalah
lagu-lagu religi. Bagaimana tidak, bagi masyarakat kita semua yang berbau Arab
baik dari segi pakaian, musik, maupun bahasa seakan sudah dianggap bagian dari
agama Islam. Padahal lagu dan musik yang menjadi latar acara-acara religi tadi
tak jauh beda dengan lagu pop dan lagu dangdut negara kita. Bisa dibayangkan
bagaimana gelinya orang yang paham lirik lagu tersebut ketika mendengar seorang
ustaz berceramah diiringi lagu dangdut berlirikkan cinta-cinta gombal sebagai
lagu latar ceramah. Saya juga pernah mendapati hal ini di siaran radio lokal
(Aceh). Saya menemukan hal ini tak hanya tahun ini, namun juga tahun lalu.
Itu tadi dari segi bahasa. Lain lagi halnya dari
segi pakaian. Semakin hari semakin aneh saja jika kita amati tren berbusana
para artis dan presenter televisi selama bulan Ramadhan. Mereka mencoba
‘mengislamikan’ penampilan, namun bagi saya itu malah kelihatan aneh. Bagaimana
tidak menjadi aneh jika seorang presenter acara gosip memakai busana bercorak
ketimuran dan itu khusus terjadi pada bulan Ramadhan dan hari-hari besar Islam.
Saya katakan bercorak ketimuran karena memang mereka tidak menutupi aurat
sebagaimana mestinya. Ada yang menaruh selembar selendang di atas kepala namun
sebahagian besar rambut terurai indah ke belakang punggung. Ada yang jilbabnya
sempurna, namun dipadukan dengan baju berlengan pendek. Ada yang jilbab dan
bajunya lebar namun memakai celana pancung.
Ketika satu bagian ditutupi dan bagian lain
dibuka-buka, lalu dimana letak nilai ‘sakral’ dari jilbab tersebut jika bagian
aurat yang lain diremehkan? Bukankah jika demikian tingkah dalam berbusana,
nilai jilbab hanya tinggal sebatas budaya Arab belaka? Karena salah satu misi
Islam adalah merubah budaya Arab dalam hal berbusana agar ‘kaffah.’ Seluruh ahli
fiqh telah bersepakat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan
telapak tangan. Parahnya, tren busana artis ibukota tersebut marak diikuti oleh
kaum perempuan di daerah berstatus syari’at Islam, dengan bermacam model dalam
bergaya.
Universalitas Ajaran Islam
Bahasa Arab mempunyai keistimewaan dalam agama Islam.
Oleh karena itu, umat Islam sangat dianjurkan mempelajari bahasa Arab sebagai
langkah utama mendalami ilmu agama. Hal ini dikarenakan dua sumber pokok ajaran
Islam sepenuhnya menggunakan bahasa Arab. Allah Swt berfirman:“Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya.” (QS 43:3). Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu
berkata, “Pelajarilah bahasa Arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.”
Begitu tingginya kedudukan bahasa Arab dalam Islam, sehingga Ibnu Taimiyah
berpendapat; “Bahasa Arab itu termasuk bagian dari agama, sedangkan
mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib.
Tidaklah seseorang bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa Arab, dan
tidaklah kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempelajari bahasa Arab),
maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa Arab, di antaranya
ada yang fardhu ‘ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” Hasan Al-Bashari, beliau
pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang suatu kaum yang belajar bahasa Arab?”
Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang baik, karena mereka mempelajari
agama nabi mereka.”
Bahasa Arab juga berperan penting dalam membangun
komunikasi antarsesama kaum muslimin di seluruh dunia. Sebagai contoh kongkrit,
kita akan memperoleh kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji maupun umrah jika
memiliki sedikit saja kemampuan berbahasa Arab, apalagi jika kita tiba-tiba
terpisah dari jama’ah kita yang lain. Namun, menempatkan keistimewaan bahasa
Arab yang tidak pada tempatnya malah akan mendatangkan musibah. Tentunya kita
masih ingat dengan peristiwa pengrusakan sebuah sekolah di Blang Bintang hanya
karena dianggap melecehkan al-Qur’an. Padahal tuduhan tersebut hingga saat ini
tidak terbukti.
Al-Qur’an diturunkan di tengah bangsa Arab dan
selama ini orang beranggapan bahwa al-Qur’an telah ‘menyesuaikan diri’ dengan
adat Arab pada awal mula Islam. Dari pemahaman semacam itu nantinya berkembang
anggapan bahwa ajaran Islam yang kita anut saat ini tak lepas dari pengaruh
budaya Arab. Hal ini amat keliru, karena sebenarnya adat Arab-lah yang
menyesuaikan diri dengan al-Qur’an. Jika al-Qur’an menyesuaikan diri dengan
adat Arab, maka tentunya nilai-nilai keislaman yang sekarang ini dijalankan
oleh kaum muslimin di seluruh kawasan dunia sangatlah dipengaruhi oleh adat
Arab. Hal ini juga tentunya membuat kandungan al-Qur’an sedikit ‘cacat’ karena
sebuah kitab suci harus menyesuaikan diri dengan adat bangsa tertentu.
Al-Qur’an memuat nilai-nilai moral, ajaran, dan hukum yang bersifat universal
untuk seluruh muslim di seluruh dunia, bukan hanya untuk masyarakat Arab
semata.
Jubah dan Kain Sarung
Jika kita membahas masalah baju jubah, ada hadis
yang menunjukkan bahwa Nabi lebih menyukai memakai gamis (sejenis jubah)
daripada jenis pakaian lain yang dikenakan oleh orang Arab pada masa tersebut.
Hal ini dikarenakan jubah lebih simpel dan lebih menutupi tubuh. Namun, Nabi
saw. juga melarang umatnya untuk mengenakan pakaian yang menyebabkan “popularitas”
atau terlalu mencolok dan terkesan asing bagi suatu kaum (Lihat HR. Ahmad no
5631, Abu Dawud 4029). Bahkan
yang dianjurkan adalah kita mengenakan model pakaian yang biasa dipakai di
tengah-tengah masyarakat kita. Oleh karena itu para
shahabat, tatkala menaklukkan berbagai negeri mereka mengenakan pakaian
sebagaimana pakaian masyakarat setempat.
Di Arab sana, non-muslim juga banyak yang memakai
baju jubah. Sebagai contoh, sebut saja kristen koptik di Mesir. Jika kita ke
Mesir, maka akan susah bagi kita untuk membedakan Muslim dan Kristen selain dari
tanda pengenal orang Kristen berupa adanya tato palang salib di pergelangan tangan
kanan mereka. Namun, biasanya muslim memakai jubah putih dan para pastur koptik
memakai jubah hitam. Pernahkah terpikirkan, bagaimana jika Musailamah
Al-Kazzab, Abu Jahal, dan para penentang dakwah Nabi juga menyukai jubah?
Di daerah kita, orang yang berjubah dianggap punya
nilai plus dalam beragama. Sebaliknya, budaya kita memakai kain sarung yang
terkesan‘meutengku,’ di Arab ‘derajat’ kain sarung malah bisa dikatakan
kurang dihargai. Di Mesir, orang Indonesia dan Malaysia serta beberapa negara
yang membudayakan kain sarung, kemungkinan besar akan ditertawakan oleh
masyarakat pribumi. Karena bagi orang Mesir, kain sarung lazim dipakai untuk
malam zifaf, malam pertama bagi pengantin, dan itu menjadi aib jika
harus dipakai keluar rumah di hari-hari biasa.
Akhir kalam, tidak semua yang berbau Arab itu
sakral. Sebagai muslim yang baik, kita hendaknya
bisa membedakan mana yang sakral dan mana yang profan, antara religi dan yang
hanya sekedar bernilai budaya semata. Jika semua budaya Arab dipahami sebagai
bagian dari Islam, maka akan menjadi musibah dalam beragama. Contohnya, musik
Arab yang jadi latar acara religius tadi, kerancuan dalam berbusana dan
pengrusakan sekolah atau pengajian lantaran dianggap melecehkan tulisan Arab
yang terlanjur dianggap ‘sakral.’ Tentunya kita tidak ingin seperti seorang
tidak waras yang ada di daerah tempat tinggal saya. Dia memungut setiap bungkus
Indomie yang tercecer di jalanan kemudian menyangkutnya dipagar-pagar rumah dan
sekolah lantaran tidak ingin terinjak-injak manusia karena ada tulisan
“petunjuk penyajian” di belakang bungkus Indomie yang tertulis dalam bahasa
Arab jawo. Wallahu’alam...
*Anggota FLP Aceh. Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN
Ar-Raniry, Konsentrasi Fiqih Modern.
Langganan:
Postingan (Atom)