Ramadhan, Pilkada dan Nafsu!
“Tak
perlu terlalu memikirkan boleh atau tidaknya calon independen dalam Pilkada.
Itu bukan urusan kita! Ada atau tidaknya independen tidak ada untungnya bagi
kita (rakyat kecil). Ramadhan sang tamu agung ada di depan mata, itu yang harus
kita pikirkan. Bagaimana dan sejauh mana sudah persiapan kita untuk menyambutnya
dengan sesempurna mungkin?” Kalimat-kalimat tersebut diucapkan dengan suara lantang
siang itu oleh khatib Jum’at (08/07), di mesjid Jami’ Abu Indrapuri.
Ya!
Tak terasa sebentar lagi, jika Allah memberi nikmat umur panjang pada kita,
kita akan bertemu kembali dengan Ramadhan. Kita akan kembali berperang dahsyat
dengan hawa nafsu. Sepulang dari perang Badar, Nabi Muhammad ditanya oleh
seorang Sahabat: “Adakah perang yang lebih besar daripada perang Badar ini ya
Rasul?” Nabi saw. menjawab: “Ada. Perang melawan hawa nafsu.” Ibarat pasukan
yang akan menghadapi pertempuran sengit, maka jauh hari sebelum jadwal
pertempuran, pasukan harus menyiapkan kematangan fisik, mental serta
perlengkapan tempur dengan sesempurna mungkin. Demikian juga halnya dengan Ramadhan
yang mana di bulan tersebut kita akan bertempur melawan hawa nafsu yang ada
dalam diri kita sendiri.
Dalam
hal politik, berpolitik merupakan bagian dari agama. Namun dunia politik rentan
membuat manusia tergelincir ke lingkaran hitam kecurangan, fitnah memfitnah,
ataupun melupakan kewajiban-kewajiban yang sepatutnya lebih didahulukan.
Ramadhan merupakan momentum yang tepat untuk mengintrospeksi segala carut-marut
di segala lini kehidupan selama ini.
Selama
ini, meski berat di hati, namun kita mesti mengakui bahwa suasana di Aceh
semakin tercarut marut dengan arus perpolitikan menuju Pilkada yang akan
berlangsung di bulan November, empat bulan lagi. Pejabat yang akan terlibat di
ajang Pilkada sering meninggalkan kewajiban masuk kantor, guna menghadiri
rapat-rapat persiapan pemenangan tokoh yang mereka dukung. Mahasiswa-mahasiswa
mencari fee sampingan dengan bergabung bersama Timses-Timses para calon
pejabat, walaupun sebagian mereka hanya dijadikan sebagai “pion” pemasang
stiker, baliho, spanduk, selebaran di jalanan,
atau mengumpulkan KTP dari masyarakat. Tak jarang juga,
beberapa organisasi mahasiswa menjadi ‘budak’ yang disetir oleh Parpol tertentu
untuk melakukan demo guna kepentingan tertentu. Sebagian
mahasiswa tak lagi membaca buku. Tugas akademik mahasiswa kebanyakan hanya
hasil dicopy-paste dari senior ataupun dari “profesor google”. Ada pula tengku-tengku
yang ‘cuti’ dari mengisi pengajian. Tanya kenapa? Karena banyak yang ingin
menjadi bagian dari pergolakan dan “perjudian” politik saat ini.
Masyarakat
kecil pun tak terlepas dari perbincangan serius masalah politik. Ucapan khatib
yang saya kutip di atas, menurut khatib bukan keluar begitu saja dari mulutnya.
Namun fenomena tersebut telah lama beliau pikirkan setiap menyaksikan tingkah masyarakat
Aceh baik yang di kota maupun di kampung. Mereka selalu saja asik membahas perihal
politik antara adanya calon independen maupun tidak, atau siapa Balon Cagub-Cawagub,
atau Cabup-Cawabup dari daerah mereka. Bahkan pembahasan bulan puasa yang sudah
di depan mata dan harga daging meugang yang tak menutup kemungkinan
tahun ini akan naik harga, kalah dengan pembahasan politik di kantor-kantor
maupun warung kopi. Lalu bagaimana dengan persiapan menyambut Ramadhan, sudah
sejauh mana persiapan masyarakat Aceh menjelang ramadhan; tradisi meugang,
bersih rumah, dan lain-lain?
Ramadhan Kali
Ini Lebih Istimewa
Ramadhan
itu sendiri merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Namun dalam konteks Aceh
tahun ini, Ramadhan akan terasa lebih istimewa. Kenapa saya katakan demikian? Dari
segi kondisi politik, rasanya dalam sejarah “Aceh modern”, tak pernah terjadi
‘keributan politik’ antara ‘sesama orang Aceh’ sepanas yang kita rasakan saat
ini. Dalam kondisi demikian, Allah mempertemukan kita dengan Ramadhan. Jadwal
Ramadhan berada di depan jadwal pelaksaan kampaye Pilkada dan Pilkada itu
sendiri. Ini merupakan momentum tepat untuk introspeksi semua pihak yang
‘bertikai’ dan yang bersaing nanti.
Kita
berharap, semoga dengan kedatangan Ramadhan, sang tamu agung ini bisa membawa
udara segar bagi suasana kehidupan rakyat di Aceh. Semoga Ramadhan merupakan
jeda waktu yang dihadiahkan Allah kepada para ‘petarung’ agar nantinya bertarung
secara sportif, tak mengotori Pilkada dengan politik uang, aksi anarkis,
dan segala bentuk kecurangan lainnya. Semoga dengan do’a-do’a tulus dari
tengku-tengku, janda dan anak-anak yatim di kampung-kampung, setelah idul fitri
nanti jiwa-jiwa pemimpin kita kembali fitrah agar bisa berpikir dengan tenang sehingga
buah pikiran mereka turut jernih. Demikian juga agar selama Ramadhan rakyat bisa
berpikir jernih untuk memilih tokoh-tokoh yang akan memimpin mereka dengan
penuh amanah selama lima tahun ke depan, agar jangan pula karena nafsu fanatik
sebahagian orang terhadap tokoh tertentu menjadikan mereka berbuat anarki
terhadap kelompok lain, karena nafsu sangat rentan mempengaruhi emosi mereka
dalam suasana Pilkada ke depan. Kedepankan rasa persaudaraan sebagai sesama
muslim, sesama mukmin, sesama orang Aceh, sehingga kontak fisik tak perlu
terjadi. Karena kita sama-sama ingin membangun damai dan kejayaan di Aceh. Semoga
Allah mengabulkan do’a-do’a rakyat Aceh di bulan Ramadhan dengan menghadiahkan
kepada kita pemimpin yang bisa mencintai rakyat, dan rakyat bisa menerima serta
mencintai kepemimpinannya.
Sebagai
bahan renungan bagi para pemimpin kami dan juga bagi mereka yang akan bersaing
di Pilkada, seberapa sudah usaha anda dalam melayani masyarakat agar mereka tak
kalang kabut menghadapi hari meugang yang kurang dari dua minggu lagi,
agar mereka tenang dalam mempersiapkan ibadah, agar tidak ada sebahagian fakir
miskin, janda maupun yatim korban konflik yang hanya bisa mencium bau daging meugang
dari rumah tetangga?! Sejauh mana sudah usaha anda dalam mengatur harga sembako
dan menekan harga daging yang semakin hari kenaikan harganya semakin menggila?
Akhir
kata, Ibnu Rajab meriwayatkan bagaimana kondisi para sahabat Rasulullah saw.
terkait Ramadhan: “mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan
agar mereka dapat menjumpai Ramadhan. Kemudian mereka pun berdo’a selama 6
bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima olehNya.” Semoga kita
tidak menyia-nyiakan kesempatan nikmat di bulan mulian. Allahumma balliqhna
ramadhan. Ya Allah, izinkanlah kami berjumpa dengan bulan Ramadhan...
*Pernah
dimuat di Harian Aceh
*Mahasiswa
PascaSarjana IAIN Ar-Raniry, Konsentrasi Fiqih Modern. Anggota FLP Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar